Friday, May 25, 2012

YUDISTIRA KSATRIA PALING JUJUR DAN BIJAKSANA

DAFTAR ISI :
1) Mengenal Yudistira
2) Orang Tua Yudistira
3) Saudara Yudistira
4) Guru Yudistira
5) Mertua Yudistira
6) Istri Yudistira
7) Anak Yudistira
8) Besan Yudistira
9) Menantu Yudistira
10) Silsilah Garis Keturunan
11) Kisah Hidup Yudistira

MENGENAL YUDISTIRA

                                           Yudistira Muda                               Yudistira Dewasa

                                 Yudistira  Satria                                 Raja Yudistira (Indraprasta)

            Yudistira Menyamar Sbagai Kangka Raja            Yudistira (HastinaPura)

                                                         Yudistira Triwikrama Brahala Putih

ORANG TUA YUDISTIRA

                          Raja Pandu, Hastinapura (Ayah)                   Ratu Kunti (Ibu)
  
Dewa Yama,Hukum & Kematian (Penitisan=India)  Dewa Darma, Keadilan (Penitisan=Jawa)

SAUDARA YUDISTIRA
1) Raja Karna, Kerajaan Angga (Dewa Surya, Matahari+Ratu Kunti)
2) Bima
(Raja Pandu+Ratu Kunti) = Dewa Bayu, Angin.
3) Arjuna (Raja Pandu+Ratu Kunti) = Dewa Indra, Raja Dewa, Hujan, Petir & Surga
4) Nakula
(Raja Pandu+Ratu Madrim) = Dewa Aswin, Pengobatan dan Pengetahuan
5) Sadewa
(Raja Pandu+Ratu Madrim) = Dewa Aswi, Pengobatan dan Pengetahuan

                            Raja Karna (Kakak)                                       Bima (Adik)
 
                                                                              Arjuna (Adik)

                                                 Nakula (Adik)                                 Sadewa (Adik)
GURU YUDISTIRA

      
                                  Resi Drona                                                       Resi Kripa

   
                              Semar / Dewa Ismaya                                            Detya Yudistira

                                                        Gandamana (Patih Hastinapura)

MERTUA YUDISTIRA
 Raja Drupada (Putri Drupadi)
ISTRI YUDISTIRA
 Putri Drupadi (Raja Drupada)
ANAK YUDISTIRA
 Pratiwindya (Drupadi)  
BESAN YUDISTIRA
 
Arjuna (Pregiwati) 
MENANTU YUDISTIRA
 Pregiwati (Arjuna+Manuhara)

SILSILAH GARIS KETURUNAN

 
 
KISAH HIDUP YUDISTIRA 

Yudistira (Sanskerta: Yudhiṣṭhira) alias Dharmawangsa, adalah salah satu tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan seorang raja yang memerintah kerajaan Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Ia merupakan yang tertua di antara lima Pandawa, atau para putera Pandu.
Dalam tradisi pewayangan, Yudistira diberi gelar "Prabu" dan memiliki julukan Puntadewa, sedangkan kerajaannya disebut dengan nama Kerajaan Amarta.


Pratisrawas
Pratipa
Santanu
Pandu
Yudistira
Satanika
Aswamedadata

Arti nama

Nama Yudistira dalam bahasa Sanskerta bermakna "teguh atau kokoh dalam peperangan". Ia juga dikenal dengan sebutan Dharmaraja, yang bermakna "raja Dharma", karena ia selalu berusaha menegakkan dharma sepanjang hidupnya.
Beberapa julukan lain yang dimiliki Yudhisthira adalah:
Beberapa di antara nama-nama di atas juga dipakai oleh tokoh-tokoh Dinasti Kuru lainnya, misalnya Arjuna, Bisma, dan Duryodana. Selain nama-nama di atas, dalam versi pewayangan Jawa masih terdapat beberapa nama atau julukan yang lain lagi untuk Yudistira, misalnya:
  • Puntadewa, "derajat keluhurannya setara para dewa".
  • Yudistira, "pandai memerangi nafsu pribadi".
  • Gunatalikrama, "pandai bertutur bahasa".
  • Samiaji, "menghormati orang lain bagai diri sendiri". 

Sifat dan kesaktian

Sifat-sifat Yudistira tercermin dalam nama-nama julukannya, sebagaimana telah disebutkan di atas. Sifatnya yang paling menonjol adalah adil, sabar, jujur, taat terhadap ajaran agama, penuh percaya diri, dan berani berspekulasi. Kesaktian Yudistira dalam Mahabharata terutama dalam hal memainkan senjata tombak. Sementara itu, versi pewayangan Jawa lebih menekankan pada kesaktian batin, misalnya ia pernah dikisahkan menjinakkan hewan-hewan buas di hutan Wanamarta dengan hanya meraba kepala mereka.
Yudistira dalam pewayangan beberapa pusaka, antara lain Jamus Kalimasada, Tunggulnaga, Tombak Karawelang dan Robyong Mustikawarih. Kalimasada berupa kitab (Memanggil segala jenis senjata, Membuka Alam Gaib, Memberikan kekuasaan dan wibawa & Menumbal Tanah Angker), sedangkan Tunggulnaga (berupa payung. Melindungi diri dari senjata jarak jauh seperti Panah, Tombak & Lembing) Keduanya menjadi pusaka utama kerajaan Amarta. Sementara itu, Mustikawarih berwujud kalung yang terdapat di dalam kulit Yudistira. Pusaka ini adalah pemberian Gandamana, yaitu patih kerajaan Hastina pada zaman pemerintahan Pandu. Apabila kesabaran Yudistira sampai pada batasnya, ia pun meraba kalung tersebut dan seketika itu pula ia pun berubah menjadi raksasa besar berkulit putih bersih.

Kelahiran

Yudistira adalah putera tertua pasangan Pandu dan Kunti. Kitab Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa mengisahkan tentang kutukan yang dialami Pandu setelah membunuh brahmana bernama Resi Kindama tanpa sengaja. Brahmana itu terkena panah Pandu ketika ia dan istrinya sedang bersanggama dalam wujud sepasang rusa. Menjelang ajalnya tiba, Resi Kindama sempat mengutuk Pandu bahwa kelak ia akan mati ketika mengawini istrinya. Dengan penuh penyesalan, Pandu meninggalkan tahta Hastinapura dan memulai hidup sebagai pertapa di hutan demi untuk mengurangi hawa nafsu. Kedua istrinya, yaitu Kunti dan Madri dengan setia mengikutinya.
Pada suatu hari, Pandu mengutarakan niatnya ingin memiliki anak. Kunti yang menguasai mantra Adityahredaya segera mewujudkan keinginan suaminya itu. Mantra tersebut adalah ilmu pemanggil dewa untuk mendapatkan putera. Dengan menggunakan mantra itu, Kunti tidak berhasil mendatangkan Dewa Dharma yang di inginkan, di karenakan sudah reinkarnasi lebih dulu dalam diri Widura, tetapi Dewa Yama datang menggantikannya dan mendapatkan anugerah putera darinya tanpa melalui persetubuhan. Putera pertama itu diberi nama Yudistira. Dengan demikian, Yudistira menjadi putera sulung Pandu, sebagai hasil pemberian Yama yang melebihi dari Dharma itu sendiri, yaitu dewa Kematian, keadilan dan kebijaksanaan yang menyatu dalam Dharma. Sifat Dharma itulah yang kemudian diwarisi oleh Yudistira sepanjang hidupnya.

Versi pewayangan Jawa

Kisah dalam pewayangan Jawa agak berbeda. Menurut versi ini, Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti. Dalam pewayangan Jawa, nama Puntadewa lebih sering dipakai, sedangkan nama Yudistira baru digunakan setelah ia dewasa dan menjadi raja. Versi ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang manusia berdarah putih, yang merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran.

Masa kecil dan pendidikan

Yudistira dan keempat adiknya, yaitu Bima (Bimasena), Arjuna, Nakula, dan Sadewa kembali ke Hastinapura setelah ayah mereka (Pandu) meninggal dunia. Adapun kelima putera Pandu itu terkenal dengan sebutan para Pandawa, yang semua lahir melalui mantra Adityahredaya. Kedatangan para Pandawa membuat sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin Duryodana merasa cemas. Putera-putera Dretarastra itu takut kalau Pandawa sampai berkuasa di kerajaan Kuru. Dengan berbagai cara mereka berusaha menyingkirkan kelima Pandawa, terutama Bima yang dianggap paling kuat. Di lain pihak, Yudistira selalu berusaha untuk menyabarkan Bima supaya tidak membalas perbuatan para Korawa.
Pandawa dan Korawa kemudian mempelajari ilmu agama, hukum, dan tata negara kepada Resi Krepa. Dalam pendidikan tersebut, Yudistira tampil sebagai murid yang paling pandai. Krepa sangat mendukung apabila tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandawa tertua itu. Setelah itu, Pandawa dan Korawa berguru ilmu perang kepada Resi Drona. Dalam pendidikan kedua ini, Arjuna tampil sebagai murid yang paling pandai, terutama dalam ilmu memanah. Sementara itu, Yudistira sendiri lebih terampil dalam menggunakan senjata tombak.

Konflik memperebutkan kerajaan

Selama Pandu hidup di hutan sampai akhirnya meninggal dunia, tahta Hastinapura untuk sementara dipegang oleh kakaknya, yaitu Dretarastra, ayah para Korawa. Ketika Yudistira menginjak usia dewasa, sudah tiba saatnya bagi Dretarastra untuk menyerahkan tahta kepada Yudhisthira, selaku putera sulung Pandu. Sementara itu putera sulung Dretarastra, yaitu Duryodana berusaha keras merebut tahta dan menyingkirkan Pandawa. Dengan bantuan pamannya dari pihak ibu, yaitu Sangkuni, Duryodana pura-pura menjamu kelima sepupunya itu dalam sebuah gedung di Waranawata, dimana gedung itu terbuat dari bahan yang mudah terbakar.
Ketika malam tiba, para Korawa membakar gedung tempat para Pandawa dan Kunti, ibu mereka, tidur. Namun, Yudistira sudah mempersiapkan diri karena rencana pembunuhan itu telah terdengar oleh pamannya, yaitu Widura adik Pandu. Akibatnya, kelima Pandawa dan Kunti berhasil lolos dari maut. Pandawa dan Kunti kemudian menjalani berbagai pengalaman sulit.

Pernikahan dengan Dropadi

Setelah lolos dari jebakan maut Korawa, para Pandawa dan Kunti pergi melintasi kota Ekachakra, lalu tinggal sementara di kerajaan Panchala. Arjuna berhasil memenangkan sayembara di kerajaan tersebut dan memperoleh seorang puteri cantik yang bernama Dropadi. Tanpa sengaja Kunti memerintahkan agar Dropadi dibagi lima. Akibatnya, Dropadi pun menjadi istri kelima Pandawa.
Dari perkawinan dengan Yudistira, Dropadi melahirkan Pratiwindya, dari Bima lahir Sutasoma, dari Arjuna lahir Srutasena, dari Nakula lahir Satanika, dan dari Sadewa lahir Srutakirti.
Versi Jawa menyebut Dropadi dengan nama "Drupadi". Menurut pewayangan Jawa, setelah memenangkan sayembara, Arjuna menyerahkan putri itu kepada Puntadewa selaku kakak tertua. Semula Puntadewa menolak, namun setelah didesak oleh ibu dan keempat adiknya, akhirnya ia pun bersedia menikahi Drupadi. Dari perkawinan itu lahir seorang putera bernama Pancawala. Jadi, menurut versi asli, tokoh Dropadi menikah dengan kelima Pandawa, sedangkan menurut versi Jawa, ia hanya menikah dengan Yudistira seorang.

Raja Indraprastha

Setelah menikahi Dropadi, para Pandawa kembali ke Hastinapura dan memperoleh sambutan luar biasa, kecuali dari pihak Duryodana. Persaingan antara Pandawa dan Korawa atas tahta Hastinapura kembali terjadi. Para sesepuh akhirnya sepakat untuk memberi Pandawa sebagian dari wilayah kerajaan tersebut.
Korawa yang licik mendapatkan istana Hastinapura, sedangkan Pandawa mendapatkan hutan Kandawaprastha sebagai tempat untuk membangun istana baru. Meskipun daerah tersebut sangat gersang dan angker, namun para Pandawa mau menerima wilayah tersebut. Selain wilayahnya yang seluas hampir setengah wilayah kerajaan Kuru, Kandawaprastha juga merupakan ibukota kerajaan Kuru yang dulu, sebelum Hastinapura. Para Pandawa dibantu sepupu mereka, yaitu Kresna dan Baladewa, dan berhasil membuka Kandawaprastha menjadi pemukiman baru.
Para Pandawa kemudian memperoleh bantuan dari Wiswakarma, yaitu ahli bangunan dari kahyangan, dan juga Anggaraparna dari bangsa Gandharwa. Maka terciptalah sebuah istana megah dan indah bernama Indraprastha, yang bermakna "kota Dewa Indra".

Pemerintahan Yudistira versi pewayangan Jawa

Yudistira (kiri) mencakupkan tangan sambil menghadap Narada (kanan) yang berdiri di depan Kresna saat penyelenggaraan Upacara Rajasuya di Indraprastha.

Pembangunan kerajaan Amarta

Dalam versi pewayangan Jawa, nama Indraprastha lebih terkenal dengan sebutan kerajaan Amarta. Menurut versi ini, hutan yang dibuka para Pandawa bukan bernama Kandawaprastha, melainkan bernama Wanamarta.
Versi Jawa mengisahkan, setelah sayembara Dropadi, para Pandawa tidak kembali ke Hastinapura melainkan menuju kerajaan Wirata, tempat kerabat mereka yang bernama Prabu Matsyapati berkuasa. Matsyapati yang bersimpati pada pengalaman Pandawa menyarankan agar mereka membuka kawasan hutan tak bertuan bernama Wanamarta menjadi sebuah kerajaan baru. Hutan Wanamarta dihuni oleh berbagai makhluk halus yang dipimpin oleh lima bersaudara, bernama Yudistira, Danduncana, Suparta, Sapujagad, Sapulebu. & Gandarwa Wiramaya Pekerjaan Pandawa dalam membuka hutan tersebut mengalami banyak rintangan. Akhirnya setelah melalui suatu percakapan, para makhluk halus merelakan Wanamarta kepada para Pandawa.
Yudistira kemudian memindahkan istana Amarta dari alam jin ke alam nyata untuk dihuni para Pandawa. Setelah itu, ia dan keempat adiknya menghilang. Salah satu versi menyebut kelimanya masing-masing menyatu ke dalam diri lima Pandawa. Puntadewa kemudian menjadi Raja Amarta setelah didesak dan dipaksa oleh keempat adiknya. Untuk mengenang dan menghormati raja jin yang telah memberinya istana, Puntadewa pun memakai gelar Prabu Yudistira.

Anugerah Ketentraman

Setelah menjadi Raja Amarta, Puntadewa berusaha keras untuk memakmurkan negaranya. Konon terdengar berita bahwa barang siapa yang bisa menikahi puteri Kerajaan Slagahima yang bernama Dewi winanta, maka negeri tempat ia tinggal akan menjadi makmur dan sejahtera. Puntadewa sendiri telah memutuskan untuk memiliki seorang istri saja. Namun karena Dropadi mengizinkannya menikah lagi demi kemakmuran negara, maka ia pun berangkat menuju Kerajaan Slagahima. Di istana Slagahima telah berkumpul sekian banyak raja dan pangeran yang datang melamar Dewi winanta. Namun sang puteri hanya sudi menikah dengan seseorang yang berhati suci, dan ia menemukan kriteria itu dalam diri Puntadewa. Kemudian Dewi winanta tiba-tiba musnah dan menyatu ke dalam diri Puntadewa. Sebenarnya winanta bukan manusia asli, melainkan wujud penjelmaan anugerah dewata untuk seorang raja adil yang hanya memikirkan kesejahteraan negaranya. Sedangkan anak raja Slagahima yang asli bernama Tambaraka. Ia kemudian mengabdi kepada Puntadewa dan diangkat sebagai patih di kerajaan Amarta.

Upacara Rajasuya

Kitab Mahabharata bagian kedua atau Sabhaparwa mengisahkan niat Yudistira untuk menyelenggarakan upacara Rajasuya demi menyebarkan dharma dan menyingkirkan raja-raja angkara murka. Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa memimpin tentara masing-masing ke empat penjuru Bharatawarsha (India Kuno) untuk mengumpulkan upeti dalam penyelenggaraan upacara agung tersebut.
Pada saat yang sama, seorang raja angkara murka juga mengadakan upacara mengorbankan seratus orang raja. Raja tersebut bernama Jarasanda dari kerajaan Magadha. Yudistira mengirim Bima dan Arjuna dengan didampingi Kresna sebagai penasihat untuk menumpas Jarasanda. Akhirnya, melalui sebuah pertandingan seru, Bima berhasil membunuh Jarasanda.
Setelah semua persyaratan terpenuhi, Yudistira melaksanakan upacara Rajasuya yang dihadiri sekian banyak kaum raja dan pendeta. Dalam kesempatan itu, Yudistira ditetapkan sebagai Maharajadhiraja. Kemudian muncul seorang sekutu Jarasanda bernama Sisupala yang menghina Kresna di depan umum. Setelah melewati penghinaan ke-100, Krishna akhirnya memenggal kepala Sisupala di depan umum.

Kehilangan kerajaan

Ketika menjadi tamu dalam acara Rajasuya, Duryodana sangat kagum sekaligus iri menyaksikan keindahan istana Indraprastha. Timbul niatnya untuk merebut kerajaan itu, apalagi setelah ia tersinggung oleh ucapan Dropadi dalam sebuah pertemuan. Sangkuni membantu niat Duryodhana dengan memanfaatkan kegemaran Yudistira terhadap permainan dadu. Yudistira memang seorang ahli agama, namun di sisi lain ia sangat menyukai permainan tersebut. Undangan Duryodana diterimanya dengan baik. Permainan dadu antara Pandawa melawan Korawa diadakan di istana Hastinapura. Mula-mula Yudistira hanya bertaruh kecil-kecilan. Namun semuanya jatuh ke tangan Duryodana berkat kepandaian Sakuni dalam melempar dadu.
Hasutan Sangkuni membuat Yudistira nekad mempertaruhkan semua hartanya, bahkan Indraprastha. Akhirnya, negeri yang dibangun dengan susah payah itu pun jatuh ke tangan lawan. Yudistira yang sudah gelap mata juga mempertaruhkan keempat adiknya secara berurutan. Keempatnya pun jatuh pula ke tangan Duryodana satu per satu, bahkan akhirnya Yudistira sendiri. Duryodana tetap memaksa Yudistira yang sudah kehilangan kemerdekaannya untuk melanjutkan permainan, dengan mempertaruhkan Dropadi. Akibatnya, Dropadi pun ikut bernasib sama.
Ratapan Dropadi saat dipermalukan di depan umum terdengar oleh Gandari, ibu para Korawa. Ia memerintahkan agar Duryodana menghentikan permainan dan mengembalikan semuanya kepada Pandawa. Dengan berat hati, Duryodhana terpaksa mematuhi perintah ibunya itu. Duryodana yang kecewa kembali menantang Yudistira beberapa waktu kemudian. Kali ini peraturannya diganti. Barang siapa yang kalah harus menyerahkan negara beserta isinya, dan menjalani hidup di hutan selama 12 tahun serta menyamar selama setahun di dalam sebuah kerajaan. Apabila penyamaran itu terbongkar, maka wajib mengulangi lagi pembuangan selama 12 tahun dan menyamar setahun, begitulah seterusnya. Akhirnya berkat kelicikan Sakuni, pihak Pandawa pun mengalami kekalahan untuk yang kedua kalinya. Sejak saat itu lima Pandawa dan Dropadi menjalani masa pembuangan mereka di hutan.

Kehidupan dalam Pembuangan

Kehidupan para Pandawa dan Dropadi dalam menjalani masa pembuangan selama 12 tahun di hutan dikisahkan pada jilid ketiga kitab Mahabharata yang dikenal dengan sebutan Wanaparwa.
Yudistira yang merasa paling bertanggung jawab atas apa yang menimpa keluarga dan negaranya berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani hukuman. Ia sering berselisih paham dengan Bima yang ingin kembali ke Hastinapura untuk menumpas para Korawa. Meskipun demikian, Bima tetap tunduk dan patuh terhadap perintah Yudistira supaya menjalani hukuman sesuai perjanjian.
Suatu ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena. Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira justru mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia rasakan.
Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata, adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu tersebut.

Peristiwa telaga beracun

Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang melakukan perjalanan menjelajahi hutan dalam masa-masa akhir  pengasingannya, mereka bertemu dengan seorang brahmana. Brahmana tersebut lalu meminta bantuan kepada Pandawa untuk menangkap seekor kijang yang telah melarikan tempat pedupaannya. "Wahai Pandawa, kijang itu membawa lari pedupaanku. Tolonglah aku, aku tidak mampu mengejar binatang itu", kata brahmana itu. Pandawa kemudian memburu kijang itu beramai-ramai dan mengepungnya dari berbagai arah. Tetapi, rupanya itu bukanlah seekor kijang biasa. Ia berhasil menghindar dari kejaran Pandawa dan terus berlari menjauh. Ia selalu berhasil lolos dari kepungan Pandawa. Hingga tanpa sadar Pandawa telah jauh masuk ke dalam hutan dan seakan kijang itu hilang ditelan rimba raya. Pandawa yang lelah, menghentikan pengejaran dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang besar dan rindang.


Nakula mengeluh, "Alangkah merosotnya kekuatan kita sekarang. Menolong seorang brahmana dalam kesulitan sekecil ini saja kita tidak bisa. Bagaimana dengan kesulitan yang lebih besar ?", "Engkau benar. Ketika Drupadi dipermalukan di depan orang banyak, seharusnya kita bunuh saja manusia-manusia kurang ajar itu. Tetapi, kita tidak berbuat apa-apa. Dan sekarang inilah akibatnya." kata Bhima sambil memandang Arjuna. Dengan sikap membenarkan, Arjuna berkata, "Ya, benar. Aku juga tidak berbuat apa-apa ketika dihina oleh anak sais kereta itu. Inilah upahnya sekarang".


Yudhistira merasakan kesedihan hati saudara-saudaranya. Mereka kehilangan semangat juang mereka. Untuk mengalihkan pikiran, ia berkata kepada Nakula, "Adikku, panjatlah pohon itu. Lihatlah baik-baik, barangkali di dekat-dekat sini ada sungai atau telaga. Aku haus sekali". Nakula lalu naik ke pohon yang tinggi. Setelah melihat sekelilingnya, ia berteriak, "Di kejauhan kulihat ada air tergenang dan burung-burung bangau. Mungkin itu telaga". Yudhistira menyuruhnya turun dan pergi untuk mengambil air. Nakulapun pergi dan memang menemukan sebuah telaga. Karena sangat haus, ia berpikir untuk minum dulu sebelum membawakan air untuk saudara-saudaranya. Baru saja ia hendak mencelupkan tangannya ke dalam air, tiba-tiba terdengar suara, "Janganlah engkau tergesa-gesa. Telaga ini milikku, hai anak Dewi Madrim. Jawablah dulu pertanyaanku. Jika kau bisa menjawab, barulah kau boleh minum". Nakula sangat terkejut mendengar suara itu, tetapi karena sangat haus, ia tidak memperdulikannya. Ia langsung mencedokkan tangannya, mengambil air dan meminumnya. Seketika itu juga ia jatuh tidak sadarkan diri.


Setelah lama menunggu dan Nakula tidak juga kembali, Yudhistira menyuruh Sadewa mencarinya. Setelah mencari-cari beberapa lama, Sadewa terkejut melihat Nakula yang terbaring tak sadarkan diri di tepi telaga. Tetapi karena merasa sangat haus, ia memutuskan untuk minum dulu. Tiba-tiba suara tadi terdengar lagi, "Wahai Sadewa, telaga ini telagaku. Jawab dulu pertanyaanku, baru engkau boleh menghilangkan dahagamu". Sadewa tidak peduli. Ia mencedokkan tangannya mengambil air yang jernih dan segar itu. Begitu minum seteguk, ia jatuh tersungkur tak sadarkan diri.


Bingung memikirkan kedua saudaranya yang belum kembali, Yudhistira menyuruh Arjuna mencari Nakula dan Sadewa. "Tetapi jangan lupa untuk kembali membawa air", katanya kepada Arjuna. Arjuna pergi berlari dan menemukan kedua saudaranya terbaring tak sadarkan diri. Ia sangat terkejut dan mengira mereka tewas dianiaya musuh. Ia marah dan ingin menghancurkan siapapun yang telah membunuh saudara-saudaranya. Tetapi karena haus, Arjuna memutuskan untuk minum dulu. Tiba-tiba suara itu terdengar lagi, "Jawab dulu pertanyaanku, sebelum engkau minum air telaga ini. Telaga ini punyaku. Kalau engkau tidak mau menurut, engkau akan mengalami nasib yang sama dengan kedua saudaramu itu". Arjuna sangat marah mendengar suara itu dan berteriak, "Hai, siapa engkau ? Tunjukkan dirimu !. Jangan pengecut ! Kubunuh kau !". Sambil berkata demikian, Arjuna membidikan panahnya ke arah datangnya suara itu. Suara itu tertawa mengejek, "Panahmu hanya akan melukai angin. Jawab pertanyaanku dulu, baru kau boleh memuaskan dahagamu. Bila engkau minum tanpa menjawab pertanyaanku, engkau akan mati". Arjuna senang karena bisa berhadapan dengan pembunuh adik-adiknya. Tetapi ia tak kuasa menahan rasa hausnya. Iapun  minum seteguk air telaga itu. Seketika itu iapun jatuh tak sadarkan diri.
Setelah lama menunggu dan Arjuna tak kunjung kembali, Yudhistira berkata kepada Bhima, "Arjuna belum juga datang. Sesuatu yang aneh mungkin saja terjadi. Carilah mereka dan bawakan air untukku. Aku haus sekali". Begitu mendapat perintah dari Yudhistira, Bhima segera berangkat. Sampai di tepi telaga, ia sedih melihat ketiga saudaranya terbaring tak bergerak. "Ini pasti perbuatan para jin dan raksasa jahat", pikirnya. "Akan kumusnahkan mereka ! Tetapi aku sangat haus. Setelah minum, akan kutamatkan pembunuh itu". Lalu ia turun ke tepi telaga. Suara gaib itu terdengar lagi, "Hati-hatilah, hai Bhima. Engkau boleh minum setelah menjawab pertanyaanku. Engkau juga akan mati jika tidak mau mendengar kata-kataku". Mendengar itu Bhima berteriak, "Siapa engkau ? Berani benar memerintah aku !". Lalu ia minum air telaga itu. Seketika itu juga otot dan tulang Bhima yang liat bagai kawat baja dan keras bagai besi menjadi lemas. Seperti saudara-saudaranya, ia jatuh tak sadarkan diri.


Yudhistira menunggu dengan cemas. Dahaganya serasa tak tertahankan. Terbayang dalam pikirannya, "Apakah mereka terkena kutukan ? Apakah mereka lenyap ditelan rimba dan tak tahu jalan kembali ? Apakah mereka mati karena kehausan ?". Kemudian Yudhistira bangkit dan berjalan mengikuti jejak-jejak kaki saudara-saudaranya. Ia memperhatikan setiap semak yang dilaluinya dengan teliti. Ia melihat jejak kijang dan babi hutan, semuanya menuju arah yang sama. Ia menengadah melihat burung-burung bangau beterbangan, pertanda ada bentang air di dekat situ. Setelah berjalan beberapa lama, ia sampai ke tanah terbuka. Di depannya terbentang telaga. Airnya berkilau jernih bagaikan cermin cemerlang. Dan di tepi telaga itu ia melihat keempat saudaranya tergeletak tak bergerak. Dihampirinya satu persatu, dirabanya kaki, tangan, dahi dan denyut jantung mereka. Yudhistira berkata dalam hati, "Apakah ini berarti akhir dari sumpah yang harus kita jalani ? Hanya beberapa hari sebelum berakhirnya masa pengasingan kita, kalian mati mendahului aku. Rupanya para dewata hendak membebaskan kita dari kesengsaraan".


Menatap wajah Nakula dan Sadewa, pemuda-pemuda yang di masa hidupnya periang dan perkasa tapi kini terbujur dingin tak bergerak, hati Yudhistira sedih. "Haruskah hatiku terbuat dari baja agar aku tidak menangisi kematian saudara-saudaraku ? Apakah hidupku masih ada gunanya setelah keempat saudaraku mati ? Untuk apa aku hidup ? Aku yakin ini bukan peristiwa biasa", pikir Yudhistira. Ia tahu, tak seorang ksatriapun akan mampu membunuh Bhima dan Arjuna tanpa melewati pertarungan hebat. "Tak ada luka di badan mereka. Wajah mereka tidak seperti wajah orang kesakitan. Mereka kelihatan tenang, seperti sedang tidur dalam damai". Hatinya terus bertanya-tanya. "Sama sekali tak ada jejak kaki, apalagi bekas tanah atau rumput yang terinjak-injak dalam perkelahian. Ini pasti peristiwa gaib. Mungkinkah ini tipu muslihat Duryodhana ? Mungkinkah Duryodhana telah meracuni air telaga ini ?". Dengan berbagai pikiran di kepalanya, perlahan-lahan ia turun ke tepi telaga. Ia ingin melepaskan dahaganya yang sudah tak tertahankan lagi. Tiba-tiba suara gaib itu terdengar lagi, "Saudara-saudaramu telah mati karena tak menghiraukan kata-kataku. Jangan engkau ikuti mereka. Jawab dulu pertanyaanku, setelah itu baru puaskan hausmu. Telaga ini milikku".
Yudhistira yakin, suara itulah yang menyebabkan saudara-saudaranya mati. Ia berpikir, mencari cara untuk mengatasi situasi itu. Kemudian Yudhistira berkata kepada suara yang tidak berwujud itu, "Silahkan ajukan pertanyanmu".


Suara gaib itu mulai mengajukan pertanyaan kepada Yudhistira.
"Apa yang dapat menolong manusia dari semua marabahaya ?"
Yudhistira menjawab, "Keberanian adalah pembebas manusia dari marabahaya".
Suara gaib: "Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini ?"
Yudhistira : "Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih mulia dan lebih menghidupi daripada bumi ini".
Suara gaib : "Apa yang lebih tinggi dari langit ?"
Yudhistira  : "Bapa"
Suara gaib : "Apa yang lebih kencang dari angin ?"
Yudhistira  : " Pikiran"
Suara gaib : "Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering di musim panas ?"
Yudhistira  : "Hati yang menderita duka dan menyimpan dendam"
Suara gaib : "Apakah kebahagiaan itu ?"
Yudhistira  : "Kebahagiaan adalah buah dari tingkah laku dan perbuatan baik"
Suara gaib : "Kehilangan apakah yang menyebabkan orang bahagia dan tidak sedih ?"
Yudhistira  : "Amarah. Kehilangan amarah membuat kita tidak lagi diburu oleh kesedihan"
Suara gaib : "Apakah itu, jika orang meninggalkannya ia dicintai oleh sesamanya ?"
Yudhistira  : "Keangkuhan. Dengan meninggalkan keangkuhan orang akan dicintai sesamanya"
Suara gaib : "Apakah itu, jika orang membuangnya jauh-jauh, ia menjadi kaya ?"
Yudhistira  : "Hawa nafsu. Dengan membuang hawa nafsu orang menjadi kaya"


Demikianlah suara gaib itu memberikan pertanyaan-pertanyan kepada Yudhistira. Dan Yudhistira menjawab semuanya tanpa ragu. Pertanyaan terakhir yang diajukan oleh suara gaib itu langsung berkaitan dengan saudara-saudaranya.


Suara gaib : "Wahai Yudhistira, seandainya salah satu saudaramu boleh tinggal denganmu sekarang, siapakah yang engkau pilih ? Dia akan hidup kembali ". Yudhistira terdiam dan berpikir sesaat, lau menjawab, "Kupilih Nakula, saudaraku yang kulitnya bersih bagai awan berarak, matanya indah bagai bunga teratai, dadanya bidang dan lengannya ramping. Tetapi kini ia terbujur kaku bagai sebatang kayu jati". Suara gaib itu belum puas akan jawaban Yudhistira, dan iapun bertanya lagi, "Kenapa engkau memilih Nakula, bukan Bhima yang kekuatan raganya lebih besar dari kekuatan gajah ? Lagipula, kudengar engkau sangat mengasihi Bhima. Atau mengapa bukan Arjuna yang mahir menggunakan segala macam senjata, terampil olah bela diri dan jelas dapat melindungimu ? Jelaskan, mengapa engkau memilih Nakula !" Yudhistira pun menjawab, "Dewi Kunti dan Dewi Madrim adalah istri ayahku dan mereka adalah ibuku. Aku, anak Kunti, masih hidup. Jadi dewi Kunti tidak kehilangan keturunan. Dengan pertimbangan yang sama dan demi keadilan, biarlah Nakula, putra dewi Madrim, hidup bersamaku".
Suara gaib itu puas sekali demi mendengar jawaban Yudhistira yang membuktikan bahwa ia adil dan berjiwa besar. Ternyata, kijang dan suara gaib itu adalah penjelmaan dari  Dewa Dharma dewa kebijakan dan Dewa Yama dewa Kematian, yang ingin menguji kekuatan batin Yudhistira. Batara yamapun lalu menghidupkan kembali semua saudara Yudhistira. Lalu di hadapan Pandawa, batara Dharma berkata, "Beberapa hari lagi masa pengasingan kalian di hutan rimba akan selesai. Di tahun ke tigabelas, kalian harus hidup dengan menyamar. Yakinlah, masa itupun akan dapat kalian lewati dengan baik. Tidak seorang musuhpun akan mengetahui keberadaan kalian. Kalian pasti lulus dalam ujian yang berat ini ". Setelah berkata demikian, batara Dharma dan Yama menghilang.

Yudistira dalam masa penyamaran

Setelah 12 tahun menjalani pembuangan di hutan, kelima Pandawa dan Dropadi kemudian memasuki masa penyamaran selama setahun. Sebagai tempat persembunyian, mereka memilih Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Wirata. Kisah ini terdapat dalam kitab Mahabharata jilid keempat atau Wirataparwa.
Yudistira menyamar dengan nama Kanka di mana ia diterima sebagai kusir kereta Raja Wirata. Bima menjadi Balawa sebagai tukang masak, Arjuna menjadi Wrihanala sebagai banci guru tari, Nakula menjadi Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi Tantripala sebagai penggembala sapi, sedangkan Dropadi menjadi Sailandri sebagai dayang istana.
Pada akhir tahun penyamaran Pandawa, terjadi peristiwa serangan kerajaan Kuru terhadap kekuasaan Wirata. Seluruh kekuatan kerajaan Matsya dikerahkan menghadapi tentara kerajaan Trigartha, sekutu Duryodhana. Akibatnya, istana Matsya menjadi kosong dan dalam keadaan terancam oleh serangan pasukan Hastinapura. Utara putera Wirata yang ditugasi menjaga istana, berangkat ditemani Wrihanala (Arjuna) sebagai kusir. Di medan perang Wrihanala membuka samaran dan tampil menghadapi pasukan Duryodana sebagai Arjuna. Seorang diri ia berhasil memukul mundur pasukan dari Hastinapura tersebut. Sementara itu, pasukan Wirata juga mendapat kemenangan atas pasukan Trigartha. Wirata dengan bangga memuji-muji kehebatan Utara yang berhasil mengalahkan para Korawa seorang diri. Kanka alias Yudistira menjelaskan bahwa kunci kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal itu membuat Wirata tersinggung dan memukul kepala Kanka sampai berdarah.
Dalam versi pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan, bukan nama orang. Sedangkan rajanya bernama Matsyapati. Dalam kerajaan tersebut, Yudistira atau Puntadewa menyamar sebagai pengelola pasar ibu kota bernama Dwijakangka.
Saat batas waktu penyamaran telah genap setahun, kelima Pandawa dan Dropadi pun membuka penyamaran. Mengetahui hal itu, Wirata merasa sangat menyesal telah memperlakukan mereka dengan buruk. Ia pun berjanji akan menjadi sekutu Pandawa dalam usaha mendapatkan kembali takhta Indraprastha.

Yudistira saat Bharatayuddha

Ketika para Pandawa pulang ke Hastinapura demi menuntut hak yang seharusnya mereka terima, Duryodana bersikap sinis terhadap mereka. Ia tidak mau menyerahkan Hastinapura kepada Yudistira. Berbagai usaha damai dilancarkan pihak Pandawa namun selalu ditolak oleh Duryodana. Bahkan, Duryodana tetap menolak ketika Yudistira hanya meminta lima buah desa saja, bukan seluruh Indraprastha. Pada puncaknya, Duryodana berusaha membunuh duta Pandawa, yaitu Kresna, namun gagal.
Perang antara Pandawa dan Korawa tidak dapat lagi dihindari. Para pujangga Jawa menyebut peristiwa itu dengan nama Bharatayuddha. Sementara itu dalam Mahabharata kisah perang besar tersebut ditemukan pada jilid keenam sampai kesepuluh.

Awal pertempuran

Pada bagian Bhismaparwa dikisahkan bahwa sebelum perang hari pertama dimulai, Yudistira turun dari keretanya berjalan kaki ke arah pasukan Korawa yang berbaris di hadapannya. Duryodana mengejeknya sebagai pengecut yang langsung menyerah begitu melihat kekuatan Korawa dan sekutu mereka. Namun, kedatangan Yudistira bukan untuk menyerah, melainkan meminta doa restu kepada empat sesepuh yang berperang di pihak lawan. Mereka adalah Bisma, Krepa, Drona, dan Salya. Keempatnya mendoakan semoga pihak Pandawa menang. Hal itu tentu saja membuat Duryodana sakit hati.
Yudistira kembali ke pasukannya. Ia mempersilakan siapa saja yang ingin pindah pasukan sebelum perang benar-benar dimulai. Ternyata yang pindah justru adik tiri Duryodhana yang lahir dari selir, bernama Yuyutsu, yang bergerak meninggalkan Korawa untuk bergabung bersama Pandawa.

Pertempuran melawan Drona

Bisma memimpin pasukan Korawa selama sepuluh hari. Setelah ia tumbang, kedudukannya digantikan oleh Drona, yang mendapat amanat dari Duryodana supaya menangkap Yudistira hidup-hidup. Drona senang atas tugas tersebut, padahal niat Duryodana adalah menjadikan Yudistira sebagai sandera untuk memaksa para pendukungnya menyerah. Berbagai cara dilancarkan Drona untuk menangkap Yudistira. Tidak terhitung banyaknya sekutu Pandawa yang tewas di tangan Drona karena melindungi Yudistira, misalnya Drupada dan Wirata.
Akhirnya pada hari ke-15, penasihat Pandawa, yaitu Kresna menemukan cara untuk mengalahkan Drona, yaitu dengan mengumumkan berita kematian seekor gajah bernama Aswatama. Aswatama juga merupakan nama putera tunggal Drona. Kemiripan nama tersebut dimanfaatkan oleh Kresna untuk menipu Drona. Atas perintah Kresna, Bima segera membunuh gajah itu dan berteriak mengumumkan kematiannya. Drona cemas mendengar berita kematian Aswatama. Ia segera mendatangi Yudistira yang dianggapnya sebagai manusia paling jujur untuk bertanya tentang kebenaran berita tersebut. Yudistira terpaksa bersikap tidak jujur. Ia membenarkan berita kematian Aswatama tanpa berusaha menjelaskan bahwa yang mati adalah gajah, bukan putera Drona.
Jawaban Yudistira itu membuat Drona jatuh lemas. Ia membuang semua senjatanya dan duduk bermeditasi. Tiba-tiba saja Drestadyumna putera Drupada mendatanginya dan kemudian memenggal kepalanya dari belakang. Drona pun tewas seketika. Dalam peristiwa ini yang paling merasa bersalah adalah Yudistira.
Menurut versi Jawa, nama gajah yang dibunuh Bima bukan Aswatama, melainkan Hastitama. Ketika Drona menanyakan hal itu, Puntadewa menjawab bahwa yang mati adalah Hastitama, namun dengan suara yang sangat pelan. Akibatnya, terdengar oleh Drona bahwa yang mati adalah Aswatama. Selanjutnya, Drona yang lengah pun tewas dipenggal Drestadyumna.

Pertempuran melawan Salya

Salya adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa membantu Korawa karena tipu daya mereka. Pada hari ke-18, ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana. Akhirnya ia pun tewas terkena tombak Yudistira.
Naskah Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuno mengisahkan bahwa Salya memakai senjata bernama Rudrarohastra, sedangkan Yudistira memakai senjata bernama Kalimahosaddha. Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan tiba-tiba berubah menjadi tombak menembus dada Salya.
Sementara itu menurut versi pewayangan Jawa, Salya mengerahkan ilmu Candabirawa berupa raksasa kerdil mengerikan, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Puntadewa maju mengheningkan cipta. Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa telah dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu pemilik asli ilmu tersebut. Selanjutnya, Puntadewa melepaskan Jamus Kalimasada yang melesat menghantam dada Salya. Salya pun tewas seketika.

Tantangan bagi Duryodana

Setelah kehabisan pasukan, Duryodhana bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa didampingi Kresna berhasil menemukan tempat itu. Duryodana pun naik ke darat siap menghadapi kelima Pandawa sekaligus. Yudistira menolak tantangan Duryodhana karena Pandawa pantang berbuat pengecut dengan cara main keroyok, sebagaimana para Korawa ketika membunuh Abimanyu pada hari ke-13. Sebaliknya, Duryodana dipersilakan bertarung satu lawan satu melawan salah seorang di antara lima Pandawa. Apabila ia kalah, maka kerajaan harus dikembalikan kepada Pandawa. Sebaliknya apabila ia menang, Yudistira bersedia kembali hidup di hutan.
Bima terkejut mendengar keputusan Yudistira yang seolah-olah memberi kesempatan Duryodana untuk berkuasa lagi, padahal kemenangan Pandawa tinggal selangkah saja. Dalam hal ini Yudistira justru menyalahkan Bima yang dianggap kurang percaya diri. Duryodana meskipun bersifat angkara murka namun ia juga seorang pemberani. Ia memilih Bima sebagai lawan perang tanding, yang paling gagah di antara kelima Pandawa. Setelah pertarungan sengit terjadi cukup lama, akhirnya menjelang senja Duryodana berhasil dikalahkan dan kemudian menemui kematiannya.

Maharaja dunia

Setelah perang berakhir, Yudistira melaksanakan upacara Tarpana untuk memuliakan mereka yang telah tewas. Ia kemudian diangkat sebagai raja Hastinapura sekaligus raja Indraprastha. Yudistira dengan sabar menerima Dretarastra sebagai raja sepuh di kota Hastinapura. Ia melarang adik-adiknya bersikap kasar dan menyinggung perasaan ayah para Korawa tersebut.
Yudistira kemudian menyelenggarakan Aswamedha Yadnya, yaitu suatu upacara pengorbanan untuk menegakkan kembali aturan dharma di seluruh dunia. Pada upacara ini, seekor kuda dilepas untuk mengembara selama setahun. Arjuna ditugasi memimpin pasukan untuk mengikuti dan mengawal kuda tersebut. Para raja yang wilayah negaranya dilalui oleh kuda tersebut harus memilih untuk mengikuti aturan Yudistira atau diperangi.
Akhirnya semuanya memilih membayar upeti. Sekali lagi Yudistira pun dinobatkan sebagai Maharaja Dunia setelah Upacara Rajasuya dahulu.

Pensiun lalu naik ke sorga

Setelah permulaan zaman Kaliyuga dan wafatnya Kresna, Yudistira dan keempat adiknya mengundurkan diri dari urusan duniawi. Mereka meninggalkan tahta kerajaan, harta, dan sifat keterikatan untuk melakukan perjalanan terakhir, mengelilingi Bharatawarsha lalu menuju puncak Himalaya. Di kaki gunung Himalaya, Yudistira menemukan anjing dan kemudian hewan tersebut menjdi pendamping perjalanan Pandawa yang setia. Saat mendaki puncak, satu per satu mulai dari Dropadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima meninggal dunia. Masing-masing terseret oleh kesalahan dan dosa yang pernah mereka perbuat. Hanya Yudistira dan aningnya yang berhasil mencapai puncak gunung, karena kesucian hatinya.
Dewa Indra, pemimpin masyarakat kahyangan, datang menjemput Yudistira untuk diajak naik ke swarga dengan kereta kencananya. Namun, Indra menolak anjing yang dibawa Yudistira dengan alasan bahwa hewan tersebut tidak suci dan tidak layak untuk masuk swarga. Yudistira menolak masuk swargaloka apabila harus berpisah dengan anjingnya. Indra merasa heran karena Yudistira tega meninggalkan saudara-saudaranya dan Dropadi tanpa mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka, namun lebih memilih untuk tidak mau meninggalkan seekor anjing. Yudistira menjawab bahwa bukan dirinya yang meninggalkan mereka, tapi merekalah yang meninggalkan dirinya.
Kesetiaan Yudistira telah teruji. Anjingnya pun kembali ke wujud asli yaitu Dewa Dharma. Bersama-sama mereka naik ke sorga menggunakan kereta Indra. Namun ternyata keempat Pandawa tidak ditemukan di sana. Yang ada justru Duryodana dan adik-adiknya yang selama hidup mengumbar angkara murka. Indra menjelaskan bahwa keempat Pandawa dan para pahlawan lainnya sedang menjalani penyiksaan di neraka. Yudistira menyatakan siap masuk neraka menemani mereka. Namun, ketika terpampang pemandangan neraka yang disertai suara menyayat hati dan dihiasi darah kental membuatnya ngeri. Saat tergoda untuk kabur dari neraka, Yudistira berhasil menguasai diri. Terdengar suara saudara-saudaranya memanggil-manggil. Yudistira memutuskan untuk tinggal di neraka. Ia merasa lebih baik hidup tersiksa bersama sudara-saudaranya yang baik hati daripada bergembira di sorga namun ditemani oleh kerabat yang jahat. Tiba-tiba pemandangan berubah menjadi indah. Dewa Indra muncul dan berkata bahwa sekali lagi Yudistira lulus ujian. Ia menyatakan bahwa sejak saat itu, Pandawa Lima dan para pahlawan lainnya dinyatakan sebagai penghuni Surga.
Menurut versi pewayangan Jawa, kematian para Pandawa terjadi bersamaan dengan Kresna ketika mereka bermeditasi di dalam Candi Sekar. Namun, versi ini kurang begitu populer karena banyak dalang yang lebih suka mementaskan versi Mahabharata yang penuh dramatisasi sebagaimana dikisahkan di atas.


Al-Kisah:

Di Demak ada kuburan yang dipajang dan dianggap orang sebagai makam Ratu Ngamarta. Pada zaman kerajaan Demak ada seorang wali yang bertemu dengan orang sangat tua yang mengaku dinnya adalah Ratu Ngarnarta dari jaman Purwa. Maka orang pun menganggap, bahwa raja Ngamarta masih hidup hingga jaman itu,
karena mempunyai pusaka surat Kalimahusada yang orang belum bisa membacanya. Setelah surat dilihat wali, ternyata Kalimahusada adalah kalimat syahadat. Sesudah oleh wali diucapkan kalimat sahadat itu, matilah orang tua tadi dan dikubur di belakang masjid. Menurut cerita itulah makam Yudistira. Wallahualam.







Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : YUDISTIRA KSATRIA PALING JUJUR DAN BIJAKSANA