DAFTAR ISI :
1) Mengenal Bima2) Orang Tua Bima
3) Saudara Bima
4) Guru Bima
5) Mertua Bima
6) Istri Bima
7) Anak Bima
8) Besan Bima
9) Menantu Bima
10) Keturunan Bima
11) Jalur Keturunan
12) Riwayat Hidup Bima
MENGENAL BIMA
Bima Muda Bima SatriaBima VS Dewa Antaboga Bima Satria
Bima Kalung Nagagini Bima satria
Bima Satria Bima Sebagai Resi
Bima Menyamar Sebagai Balawa di Kerajaan Matsiah
Bima & DewaRuci
Bima & 4 Saudaranya
Bima Sebagai Balawa Bertempuran Di Kerajaan Matsah
Penyamaran Bima dan saudaranya Di Kerajaan Matsah
ORANG TUA BIMA
Raja Pandu, Hastinapura (Ayah) Ratu Kunti (Ibu)
Dewa Bayu, Angin (Penitisan)
SAUDARA BIMA
1) Raja Karna, Kerajaan Angga (Dewa Surya-Ratu Kunti)2) Raja Yudistira, Kerajaan Indraprasta (Raja Pandu-Ratu Kunti) = Dewa Yama, Darma,Hukum Kematian
3) Arjuna (Raja Pandu+Ratu Kunti) = Dewa Indra, Raja Dewa, Hujan, Petir dan Surga
4) Nakula (Raja Pandu-Ratu Madrim) = Dewa Aswin, Pengobatan dan Pengetahuan
5) Sadewa (Raja Pandu-Ratu Madrim) = Dewa Aswi, Pengobatan dan Pengetahuan
Raja Karna (Kakak) Raja Yudistira (Kakak)
Arjuna (adik)
GURU BIMA
Hanuman Detya DadungwacanaResi Drona Resi Kripa
Raja Baladewa/Balarama Dewa Ruci
Dewa Naga Basuki
MERTUA BIMA
Dewa Naga Antaboga (Nagagini) Raja Arimbaka (Hidimbi/Arimbi)Dewa Baruna (Urangayu) Raja Drupada (Drupadi)
ISTRI BIMA
Hidimbi Wujud Raksasa Hidimbi (Istri pertama)Drupadi (Istri ke3) Nagagini (Istri ke2)
Urangayu (Istri Ke4) Rekatawati (Istri ke5)
Walandhara (Istri ke6)
ANAK BIMA
Antareja Wujud Manusia (Nagagini) Antareja Wujud UlarAntareja Triwikrama Antareja Triwikrama
Gatotkaca Wujud Manusia (Hidimbi) Gatotkaca Satria (Hidimbi)
Gatotkaca Triwikrama
Sutasoma (Drupadi) Antasena muda (Urangayu)
Antasena satria (Urangayu) Srenggini (Rekatawati)
Sarwaga (Walandhara)
BESAN BIMA
Raja Ular Ganggapranawa (Ganggi) Arjuna (Pregiwa)
MENANTU BIMA
Dewi Ganggi (Antareja) Pregiwa (Gatotkaca)
KETURUNAN BIMA
Danurwenda (Antareja) Barbalika (Gatotkaca)
Sasikirana (Gatotkaca)
JALUR KETURUNAN Bima (Sanskerta: bhīma) atau Bimasena (Sanskerta: bhīmaséna) adalah seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Ia adalah putra Dewi Kunti dan dikenal sebagai tokoh Pandawa yang kuat, bersifat selalu kasar dan menakutkan bagi musuh, walaupun sebenarnya hatinya lembut. Ia merupakan keluarga Pandawa di urutan yang kedua, dari lima bersaudara. Saudara se'ayah'-nya ialah wanara yang terkenal dalam epos Ramayana dan sering dipanggil dengan nama Hanoman. Akhir dari riwayat Bima diceritakan bahwa dia mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuddha. Cerita ini dikisahkan dalam episode atau lakon Prasthanikaparwa. Bima setia pada satu sikap, yaitu tidak suka berbasa basi dan tak pernah bersikap mendua serta tidak pernah menjilat ludahnya sendiri.
Arti nama
Kata bhīma dalam bahasa Sanskerta artinya kurang lebih adalah "mengerikan". Sedangkan nama lain Bima yaitu Wrekodara, dalam bahasa Sanskerta dieja vṛ(ri)kodara, artinya ialah "perut serigala", dan merujuk ke kegemarannya makan. Nama julukan yang lain adalah Bhimasena yang berarti panglima perang.Istri dan keturunan
Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah Indraprastha. Ia mempunyai enam orang isteri dan 6 orang anak, yaitu:- Dewi Drupadi, berputra Sutasoma
- Dewi Nagagini, berputera Antareja,
- Dewi Arimbi, berputera Gatotkaca
- Dewi Rayungayu, berputera Antasena.
- Dewi Rekatawati, berputra Srenggini
- Dewi Walandhara, berputra Sarwaga
Nama lain
- Werkudara
- Bratasena
- Balawa
- Birawa
- Dandungwacana
- Nagata
- Kusumayuda
- Kowara
- Kusumadilaga
- Pandusiwi
- Bayusuta
- Sena
- Wijasena
- Jagal Abilowo
Kelahiran
Dalam wiracarita Mahabharata diceritakan bahwa karena Pandu tidak dapat membuat keturunan (akibat kutukan dari seorang resi di hutan), maka Kunti (istri Pandu) berseru kepada Bayu, dewa angin. Dari hubungan Kunti dengan Bayu, lahirlah Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima akan menjadi orang yang paling kuat dan penuh dengan kasih sayang.Masa muda
Pada masa kanak-kanak Pandawa dan Korawa, kekuatan Bima tidak ada tandingannya di antara anak-anak sebayanya. Kekuatan tersebut sering dipakai untuk menjahili para sepupunya, yaitu Korawa. Salah satu Korawa yaitu Duryodana, menjadi sangat benci dengan sikap Bima yang selalu jahil. Kebencian tersebut tumbuh subur sehingga Duryodana berniat untuk membunuh Bima.Pada suatu hari ketika para Korawa serta Pandawa pergi bertamasya di daerah sungai Gangga, Duryodana menyuguhkan makanan dan minuman kepada Bima, yang sebelumnya telah dicampur dengan racun. Karena Bima tidak senang mencurigai seseorang, ia memakan makanan yang diberikan oleh Duryodana. Tak lama kemudian, Bima pingsan. Lalu tubuhnya diikat kuat-kuat oleh Duryodana dengan menggunakan tanaman menjalar, setelah itu dihanyutkan ke sungai Gangga dengan rakit. Saat rakit yang membawa Bima sampai di tengah sungai, ular-ular yang hidup di sekitar sungai tersebut mematuk badan Bima. Ajaibnya, bisa ular tersebut berubah menjadi penangkal bagi racun yang dimakan Bima. Ketika sadar, Bima langsung melepaskan ikatan tanaman menjalar yang melilit tubuhnya, lalu ia membunuh ular-ular yang menggigit badannya. Beberapa ular menyelamatkan diri untuk menemui rajanya, yaitu Naga Basuki.
Saat Naga Basuki mendengar kabar bahwa putera Pandu yang bernama Bima telah membunuh anak buahnya, ia segera menyambut Bima dan memberinya minuman ilahi. Minuman tersebut diminum beberapa mangkuk oleh Bima, sehingga tubuhnya menjadi sangat kuat. Bima tinggal di istana Naga Basuki selama delapan hari, dan setelah itu ia pulang. Saat Bima pulang, Duryodana kesal karena orang yang dibencinya masih hidup. Ketika para Pandawa menyadari bahwa kebencian dalam hati Duryodana mulai bertunas, mereka mulai berhati-hati.
Pendidikan
Pada usia remaja, Bima dan saudara-saudaranya dididik dan dilatih dalam bidang militer oleh Drona. Dalam mempelajari senjata, Bima lebih memusatkan perhatiannya untuk menguasai ilmu menggunakan gada, seperti Duryodana. Mereka berdua menjadi murid Baladewa, yaitu saudara Kresna yang sangat mahir dalam menggunakan senjata gada. Dibandingkan dengan Bima, Baladewa lebih menyayangi Duryodana, dan Duryodana juga setia kepada Baladewa.Senjata dan Kelebihan
Bima memiliki banyak senjata yang antara lain Gada Rujak pala, Gada Lambitamuka, Kuku Pancanaka, Gada
Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta (kapak
Lempar), Gelang Candrakirana dan Kalung Nagasasra
Bima sebagai seorang ksatria juga memiliki beberapa ajian yang antara lain
1) ajian Bayubajra, yaitu
ajian yang bisa menyerang musuh dengan menggunakan kekuatan angin ribut
2) ilmu
Sangkan Paraning Dumadi & ilmu kasampurnan
3) Aji Bandungbandawasa, yaitu meningkatkan kekuatan fisik setara 20 ekor gajah
4) Aji Ketuklindu, yaitu membuat guncangan tanah dengan hentakan kaki
5) Aji Blabak
Pangantol, yaitu membuat perkasa dalam perkelahian dan perang
Peristiwa di Waranawata
Ketika para Bima beserta ibu dan saudara-saudaranya berlibur di Waranawata, ia dan Yudistira sadar bahwa rumah penginapan yang disediakan untuk mereka, telah dirancang untuk membunuh mereka serta ibu mereka. Pesuruh Duryodana, yaitu Purocana, telah membangun rumah tersebut sedemikian rupa dengan bahan seperti lilin sehingga cepat terbakar. Bima hendak segera pergi, namun atas saran Yudistira mereka tinggal di sana selama beberapa bulan.Pada suatu malam, Kunti mengadakan pesta dan seorang wanita yang dekat dengan Purocana turut hadir di pesta itu bersama dengan kelima orang puteranya. Ketika Purocana beserta wanita dan kelima anaknya tersebut tertidur lelap karena makanan yang disuguhkan oleh Kunti, Bima segera menyuruh agar ibu dan saudara-saudaranya melarikan diri dengan melewati terowongan yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian, Bima mulai membakar rumah lilin yang ditinggalkan mereka. Oleh karena ibu dan saudara-saudaranya merasa mengantuk dan lelah, Bima membawa mereka sekaligus dengan kekuatannya yang dahsyat. Kunti digendong di punggungnya, Nakula dan Sadewa berada di pahanya, sedangkan Yudistira dan Arjuna berada di lengannya.
Ketika keluar dari ujung terowongan, Bima dan saudaranya tiba di sungai Gangga. Di sana mereka diantar menyeberangi sungai oleh pesuruh Widura, yaitu menteri Hastinapura yang mengkhwatirkan keadaan mereka. Setelah menyeberangi sungai Gangga, mereka melewati Sidawata sampai Hidimbawana. Dalam perjalanan tersebut, Bima memikul semua saudaranya dan ibunya melewati jarak kurang lebih tujuh puluh dua mil.
Peristiwa di Hidimbawana
Di Hidimbawana, Bima bertemu dengan Hidimbi/arimbi yang jatuh cinta dengannya. Kakak Hidimbi yang bernama Hidimba, menjadi marah karena Hidimbi telah jatuh cinta dengan seseorang yang seharusnya menjadi santapan mereka. Kemudian Bima dan Hidimba berkelahi. Dalam perkelahian tersebut, Bima memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh Hidimba dengan tangannya sendiri. Lalu, Bima menikah dengan Hidimbi. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang putera yang diberi nama Gatotkaca. Bima dan keluarganya tinggal selama beberapa bulan bersama dengan Hidimbi dan Gatotkaca, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan.Pembunuh Raksasa Baka
Setelah melewati Hidimbawana, Bima dan saudara-saudaranya beserta ibunya tiba disebuah kota yang bernama Ekacakra. Di sana mereka menumpang di rumah keluarga brahmana. Pada suatu hari ketika Bima dan ibunya sedang sendiri, sementara keempat Pandawa lainnya pergi mengemis, brahmana pemilik rumah memberitahu mereka bahwa seorang raksasa yang bernama Bakasura meneror kota Ekacakra. Atas permohonan penduduk desa, raksasa tersebut berhenti mengganggu kota, namun sebaliknya seluruh penduduk kota diharuskan untuk mempersembahkan makanan yang enak serta seorang manusia setiap minggunya. Kini, keluarga brahmana yang menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang mendapat giliran untuk mempersembahkan salah seorang keluarganya. Merasa berhutang budi dengan kebaikan hati keluarga brahmana tersebut, Kunti berkata bahwa ia akan menyerahkan Bima yang nantinya akan membunuh raksasa Baka. Mulanya Yudistira sangsi, namun akhirnya ia setuju.Pada hari yang telah ditentukan, Bima membawa segerobak makanan ke gua Bakasura. Di sana ia menghabiskan makanan yang seharusnya dipersembahkan kepada sang raksasa. Setelah itu, Bima memanggil-manggil raksasa tersebut untuk berduel dengannya. Bakasura yang merasa dihina, marah lalu menerjang Bima. Seketika terjadilah pertarungan sengit. Setelah pertempuran berlangsung lama, Bima meremukkan tubuh Bakasura seperti memotong sebatang tebu. Lalu ia menyeret tubuh Bakasura sampai di pintu gerbang Ekacakra. Atas pertolongan dari Bima, kota Ekacakra tenang kembali. Ia tinggal di sana selama beberapa lama, sampai akhirnya Pandawa memutuskan untuk pergi ke Kampilya, ibukota Kerajaan Panchala, karena mendengar cerita mengenai Dropadi dari seorang brahmana.
Bima dalam Bharatayuddha
Dalam perang di Kurukshetra, Bima berperan sebagai komandan tentara Pandawa. Ia berperang dengan menggunakan senjata gadanya yang sangat mengerikan.Pada hari terakhir Bharatayuddha, Bima berkelahi melawan Duryodana dengan menggunakan senjata gada. Pertarungan berlangsung dengan sengit dan lama, sampai akhirnya Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah bersumpah akan mematahkan paha Duryodana. Seketika Bima mengayunkan gadanya ke arah paha Duryodana. Setelah pahanya diremukkan, Duryodana jatuh ke tanah, dan beberapa lama kemudian ia mati.
Bima dalam pewayangan Jawa
Sifat
Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya. Bima melakukan kedua hal ini (bicara dengan bahasa krama inggil dan duduk) hanya ketika menjadi seorang resi dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu dengan Dewa Ruci. Ia memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada, serta memiliki berbagai macam senjata, antara lain: Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta. Sedangkan jenis ajian yang dimilikinya antara lain: Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak PangantolBima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh atau Kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.
Bima Menikah dengan Nagagini
Pada waktu itu di Sapatapratala atau bumi lapis yang ketujuh Hyang Antaboga sedang duduk dihadap oleh putrinya yang bernama Dewi Nagagini. Dewi Nagagini melapor kepada ayahandanya bahwa tadi malam ia bermimpi bertemu dengan satria besar tinggi berwajah tampan dan berkulit kuning bernama Raden Bratasena. Ia minta dicarikan satria tersebut sampai dapat. Hyang antaboga menyanggupi dan Iapun segera berangkat. Pada waktu itu Pandawa masih mengikuti binatang garangan putih yang menjadi penunjuk jalan Pandawa. Akan tetapi Binatang garangan itu berlari kencang dan tiba-tiba hilang. Pandawa kebingungan dan berhenti berjalan untuk sementara sambil memikirkan jalan keluar. Tiba-tiba tampak didepan mereka Dewa Hyang Antaboga. Setelah mereka berkenalan mereka dipersilahkan turun ke Saptapratala. Pandawa dijamu oleh Hyang Antaboga dan diperkenalkan kepada putri Hyang Antaboga yaitu Dewi Nagagini.
Hyang Antaboga berterus terang ingin menjodohkan anaknya Dewi Nagagini dengan Bratasena. Raden Bratasena menyatakan bersedia, maka dinikahkanlah Bratasena dengan Dewi Nagagini. Kedua Pengantin ini hidup rukun. Kelak mereka akan dianugerahi seorang putera bernama Raden Antareja. Pada saat Malam pengantin, pada saat Raden Bratasena dan Dewi Nagagini berada di kamar pengantin yang disebut "Pasamiran" cara Bratasena merayu istrinya lain daripada yang lain. Istrinya yang bertubuh kecil sangat cantik itu diontang-antingkan seperti barang akan dilempar. Inang pengasuh Dewi Nagagini yang melihat kejadian ini segera melapor kepada Hyang Antaboga. Hyang Antaboga terkejut, tidak mengira kalau Raden Bratasena berperangai kasar kepada istrinya dan segera merubah dirinya menjadi ular naga dan memasuki kamar "Pasamiran", Namun disana dia mendapatkan anaknya Dewi Nagagini sedang dipangku dengan mesranya oleh Suaminya.
Dewi Nagagini yang tahu bahwa ular naga itu adalah ayahnya bertanya mengapa ayahnya memasuki pasamiran. Ular naga itu menjelaskan tentang laporan yang diterimanya dari inang pengasuh Dewi Nagagini. Dewi Nagagini dengan tersipu-sipu menjelaskan bahwa ia merasa nikmat sekali diayun-ayun oleh suaminya dengan cara diontang-antingkan itu. Dewa Hyang Antaboga yang sangat menyayangi anaknya itupun akhirnya mundur dan merubah rupa kembali menjadi manusia. Ia mengelus dada dan tersenyum memikirkan ulah anak-anak muda jaman sekarang. Setelah beberapa waktu tinggal di Saptapratala, Dewi Kunti dan putra-putranya meminta diri. Hyang Antaboga mengijinkan.Rombongan Pandawa dan Punakawan Semar Gareng Petruk dan Bagong itu segera kembali ke permukaan bumi melalui sumur Jalatunda.
Pada suatu hari ketika si Bratasena sedang asik menebang pohon membuka hutan, lewatlah seorang Dewi dari sebuah kerajaan, Dewi itu datang mendekat ingin melihat dengan jelas siapa yang sedang bekerja membuka hutan itu. Dewi itu ternyata seorang raksasa, ia adalah putri kerajaan Pringgandani yang sedang melintas di hutan Amarta. Pada saat melihat si Bratasena sedang bekerja, putri itu begitu terpesona dengan si Bratasena dan diapun jatuh cinta padanya. Karena sadar bahwa ia adalah seorang raksasi sedangkan orang itu nampak seperti seorang satria yang gagah, Dewi itu menjadi kecil hati, namun karena begitu terpesonanya dia dia menghampiri Bratasena dan memeluk kakinya secara tiba-tiba seolah tidak ingin melepaskannya.
Bima menikah dengan Dewi Arimbi
Bratasena yang merasa terganggu pekerjaannya menjadi tidak suka dengan putri itu, walaupun sebagai seorang lelaki normal telah sekian lama hidup di hutan pastilah menginginkan kehadiran seorang wanita, namun karena dia raksasa dan caranya mendekatinya sangat aneh maka dia kibaskan kakinya hingga Dewi raksasi itu terjatuh. Tidak jauh dari situ ternyata Dewi Kunti melihat segalanya. Perasaannya yang peka tahu bahwa Dewi raksasa itu menyenangi putranya. Maka dia datang menolong Dewi raksasi itu sambil berkata "Aduh kasihan sekali Dewi yang cantik ini terjatuh di hutan seperti ini." Kemudian dilihatnya si Bratasena sambil berkata "Lihatlah anakku alangkah cantiknya Dewi ini". Bratasena yang tadinya melihat muka sang Dewi saja tidak mau, kini mencoba melihat wajah Dewi raksasi itu. Dan memang dilihatnya memang Dewi itu cantik juga, hanya saja tubuhnya itu besar sekali tidak seperti wanita lain. Eh tapi akan cocok dengan badanku yang juga tinggi besar ini, pikir si Bratasena.
Dewi Kunti mengajak Dewi raksasi itu berjalan ke arah tempat tinggal Pandawa di Hutan Amarta. Sambil berjalan Dewi itu memperkenalkan namanya Dewi Arimbi dari negara Pringgodani. Tak lama kemudian si Bratasena ikut menyusul pulang ke rumah. Di dapatinya Kakaknya Puntadewa sedang bercakap-cakap dengan Dewi yang tadi memegangi kakinya. Kemudian didengarnya kakaknya memanggil namanya " Adikku Bratasena kemarilah, Putri ini berasal dari Pringgodani, namanya Dewi Arimbi. Dia ingin melanjutkan perjalanan pulang ke Pringgodani. Apakah kamu bersedia mengantarkannya? "Apapun perintah kakang akan aku laksanakan" demikian si Bratasena menyahut. Tidak lama kemudian Dewi Kunti keluar dengan membawa sebungkus bekal dan memberikannya kepada Bratasena, ini anakku pergilah antarkan Dewi ini ke Pringgodani.
Singkat cerita berangkatlah Bratasena dan teman barunya ke istana kerajaan Pringgodani. Sampai di Istana menghamburlah putri raja itu ke Ayahnya dan menceritakan semua yang terjadi, dan tanpa malu ia mengatakan bahwa ia menyukai ksatria yang mengantarkannya itu. Kemudian pada saat Bratasena si ksatria itu menghadap, dia menanyakan asal-usul si Bratasena dan menanyakan juga mengapa ia tinggal di hutan. Bratasena menceritakan semua hal tentang asal-usul nya dan kejadian sejak mereka dikhianati oleh saudara mereka Kurawa dan keluar dari sumur Jalatunda serta mendapatkan hadiah dari raja Wirata.
Ayahanda Dewi Arimbi manggut-manggut, setelah ia mengetahui asal-usulnya ia tidak keberatan apabila Putrinya akan menikah dengan si ksatria Pandawa putera Pandu Dewanata itu. Kemudian sang Raja bertanya kepada Bratasena, apakah benar ia mau memperistri anaknya?
Bratasena tertegun sejenak, kemudian dia menjawab bahwa ia bersedia. Dewi Arimbi yang mendengar dari dalam hatinya berbunga-bunga, dipeluknya ibunya yang saat itu sedang disampingnya. Ibunya mengelus-elus rambut Arimbi dengan penuh kasih.
Apabila engkau bersedia dan anakkupun juga senang dengan sira maka sebaiknya segera hal ini engkau beritahukan kepada Ibu dan saudara-saudaramu.
Maka Bratasena segera meminta diri untuk kembali pulang ke hutan Amarta, keberangkatannya diantarkan oleh Ayahanda Dewi Arimbi, Ibunya dan Dewi arimbi sendiri hingga ke depan gerbang istana.
Sementara itu di Hutan Amarta, tidak lama setelah Bratasena pergi mengantar dewi Arimbi datanglah Patih Nirbita, utusan dari Raja Wirata Prabu Matswapati, bersama dengan rombongannya, ikut pula para putera raja Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka. Pada saat kedatanganya Raden Seta menanyakan kepada Puntadewa kemana gerangan si Jagalbilawa Bratasena, kemudian Puntadewa menceritakan kejadian sehari kemarin. Raden Seta hanya tersenyum mendengarnya, dia sangat kagum dengan kekuatan dan kesaktian Jagalbilawa yang mampu mengalahkan Rajamala yang amat ditakuti seluruh rakyat Wirata.
Dengan hadirnya rombongan Patih Nirbita, pekerjaan membuka hutan menjadi cepat selesai, apalagi setelah itu si Bratasena juga datang dan dengan cepat terbukalah sebuah daerah yang cukup luas untuk didirikan sebuah tempat tinggal dan mungkin dapat berkembang menjadi desa, kota bahkan kerajaan.
Bratasena sejak kedatangannya memberitahukan kepada ibunya bahwa Raja kerajaan Pringgodani telah berkenan untuk mengambilnya sebagai menantu. Dewi Kunti yang mendengarnya menjadi sangat senang dan mengumumkan hal itu kepada semua orang yang ada kepada anak-anaknya Pandawa juga kepada rombongan patih Nirbita, para pangeran kerajaan Wirata, dan kepada para prajurit.
Berkatalah Patih Nirbita bahwa semua senang dengan berita itu dan berkenan untuk ikut mengantarkan Bratasena ke negeri Pringgodani untuk menghadiri pesta perkawinan sang Bratasena dengan Dewi Arimbi, apalagi pekerjaan membuka hutan juga sudah selesai. Maka bersiaplah mereka untuk pergi dalam rombongan yang mengantar mereka ke Negeri Pringgodani. Pinten dan Tangsen senang sekali karena sudah lama mereka ingin melihat kota, setelah sekian lama mereka hidup di hutan berteman dengan binatang hutan. Dewi Kunti menangkap kegembiraan itu dan dalam hati ia berkata, Madrim ... untunglah anakmu kembar dua, apabila cuma satu,
maka alangkah merananya anakmu itu.
Tidak lama kemudian berangkatlah rombongan itu ke Istana kerajaan Pringgodani. singkat cerita mereka sampai di Istana kerajaan Pringgodani dan disambut dengan meriah oleh rakyat Pringgodani dan ternyata kerajaan juga tengah bersiap-siap mengadakan pesta untuk pernikahan putri raja mereka yaitu putri Arimbi.
Selang sehari setelah kedatangan mereka pernikahan segera dilangsungkan dan Raja mengumumkan hal itu kepada rakyatnya, dan setelah itu diadakan pesta untuk menyambutnya. Semua rakyat berduyun-duyun ingin melihat wajah si Ksatria yang menjadi suami Dewi Arimbi itu.
Setelah perkawinan, Bratasena memboyong istrinya ke Hutan Amarta tentu saja seijin ayah dan ibunya. Dewi arimbi tidak berkeberatan tinggal dihutan. Maka begitu pesta perkawinan usai pulanglah Dewi Kunti dan puteranya, Patih Nirbita dan rombongannya, serta Bratasena dan istrinya untuk kembali ke hutan. Sesampai dihutan Amarta Patih Nirbita dan rombongannya meminta diri untuk langsung pulang ke kerajaan Wirata. Maka tingggalah Pandawa dan Ibunya serta anggota baru keluarga yaitu Dewi Arimbi di Hutan Amarta. Untuk beberapa waktu lamanya Dewi Kunti dan Putra-putranya masih hidup dalam keadaan prihatin.
Pada suatu hari tanpa di duga-duga datanglah Begawan Abyasa, Mertua dari Dewi Kunti, Kakek dari para Pandawa. Dewi Kunti menceritakan kejadian bagaimana asalnya hingga mereka tinggal dihutan, hidup sengsara dan mengembara. Dia juga mengulangi lagi kesedihan hatinya karena akibat perbuatan Kurawa yang dengki dan keterlaluan itu mereka hidup terlunta-lunta.
Maka bersabdalah Begawan Abyasa bahwa mereka tidak perlu bersedih hati karena perbuatan Kurawa. Di dunia ini menurut Begawan Abyasa tidak akan ada orang yang luput dari sengsara. Bagi manusia suka dan duka itu memang silih berganti, dan setiap orang secara adil akan mengalaminya.